290 dilihat
PILARJAMBI.COM | OPINI – Kemarin, tepatnya Rabu, (25/10) kita telah menyaksikan Debat Pasangan Calon Bupati
Tanjung Jabung Barat yang disiarkan oleh TVRI dan disebarluaskan melalui kanal youtube,
facebook dan instagram KPU Tanjung Jabung Barat. Di Indonesia, debat politik memang
merupakan tradisi baru. Pertama kali debat politik diterapkan pada tanggal 30 Juni 2004 yang
merupakan siaran langsung debat kandidat pemilihan presiden pertama dalam sejarah televisi
Indonesia.
Kemudian setelah itu debat diselenggarakan pada tingkat Pilkada baik gubernur
maupun bupati/walikota di Indonesia. Pasca Reformasi , formula debat di Indonesia menjadi
salah satu alternative untuk menguji kualitas kandidat dalam menangani berbagai persoalan,
juga menyampaikan program yang akan dijalankan pada saat pemerintahannya kelak.
W.L. Benoit meneliti dan mengkaji debat kampanye politik kemudian menciptakan suatu
teori yaitu “functional theory of political campaign discourse” . Teori ini menyatakan bahwa
warga negara memilih kandidat yang tampaknya lebih disukai berdasarkan kriteria apa pun
yang paling menonjol bagi setiap pemilih. Kandidat memiliki tiga cara untuk melakukan
argumentasi.
Pertama, mereka mungkin memuji/pernyataan (acclaim), atau memuji diri
sendiri. Kedua, kandidat dapat menyerang (attack) ,karena pemilihan adalah penilaian
komparatif, serangan yang berhasil membuat lawan tampak lebih buruk bagi pemilih).
Ketiga, jika diserang, lawan mungkin terlibat dalam pertahanan (defense), menyangkal
tuduhan atau serangan argumentasi dari lawan (Benoit, didalam Benoit).
Bagaimana dengan
debat paslon bupati tanjab barat kemarin? Dan Apakah debat paslon memiiki efek electoral
pada pemilih di Tanjab Barat?
Gaya Komunikasi Paslon
Setelah menyaksikan debat paslon bupati tanjab barat kemarin, penulis melihat bahwa para
kandidat masih malu-malu untuk menyatakan argumentasi dengan terbuka sebagaimana teori
di atas. Menurut penulis, Debat kemarin lebih mirip dengan tanya jawab dalam panggung
“cerdas cermat”. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh budaya komunikasi di Indonesia
yang lebih cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi (high context culture).
Hall dalam bukunya mengatakan dari segi kultur kebudayaan, maka dapat dibagi dalam dua
konteks, pertama kebudayaan konteks tinggi (high context culture) dan kebudayaan konteks
rendah ( low context culture). Gaya komunikasi kebudayaan konteks tinggi ditandai dengan :
pesan bersifat implicit ,puitis,tidak langsung dan tidak berterus terang. Pesan tersembunyi dalam perilaku nonverbal, misalnya: intonasi suara, gerakan tangan, gerakan tubuh,ekspresi
wajah, tatapan mata atau tampilan fisik.
Gaya ini umumnya di anut oleh masyarakat di dunia
timur. Sedangkan gaya komunikasi kebudayaan konteks rendah ditandai dengan : eksplanatif,
rinci, eksplisit (langsung/linear), gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Gaya ini
umumnya di anut oleh masyarakat di dunia barat. Di Indonesia, apabila dalam momen debat
terdapat paslon yang bertanya dengan pertanyaan yang di anggap “menyerang” paslon lain
atau pun membantah secara langsung pernyataan palson lain, maka, paslon tersebut justru
akan mendapatkan cibiran publik dan dianggap tidak memiliki etika bukan sebalikya.
Kondisi demikan berbanding terbalik dengan pola debat di negara-negara eropa dan barat
yang cenderung lepas dan terbuka contohnya debat pilpres amerika antara Joe Bidden dan
Donald Trump pada debat pilpres amerika yang lalu.
Faktor kebudayaan inilah yang
menyebabkan hampir setiap momen debat pilpres maupun pilkada di Indonesia jarang sekali
terjadi debat antar pasangan calon dan saling bantah pendapat, yang terjadi hanya dialog
tanya jawab untuk saling memperkuat dan melengkapi argumentasi antar paslon.
Efek Debat Pilkada
Apakah debat paslon bupati tanjab barat yang digelar kemarin memiliki efek elektabilitas
pada paslon? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu
tipe-tipe pemilih di tanjung jabung barat.
Pertama, yaitu pemilih rasionalis, pemilih di
kategori ini mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan, sekaligus menganalisis
kemungkinan program-program tersebut relevan untuk dikerjakan atau tidak.
Kedua,
Pemilih transvisional yaitu pemilih yang menggantungkan harapan, kebutuhan
kepentingannya untuk diakomodasi dan dapat dipenuhi, serta
Ketiga, Pemilih tradisional.
Pemilih ini cenderung menentukan pilihan pada kandidat beradasarkan aspek yang sangat
subjektif seperti kesamaan budaya, agama, moral, norma, dan psikografis. Dan menurut
penulis, berdasarkan catatan sejarah pilkada di tanjab barat, maka basis masa pemilih
tradisional ini cukup banyak di Tanjung Jabung Barat.
Debat kemarin akan memberikan efek pada pemilih rasional dan terdidik dan juga
memberikan efek pada pemilih transvisonal. Debat juga akan mempengaruhi pemilih yan
masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan sehingga memilih. Untuk pemilih tradsional,
debat tidak terlalu memberikan efek apapun, karena tipe pemilih adalah tipe pemilih yang
sangat setia. Mereka cenderung hanya akan menampilkan hal-hal positif kandidat yang didukung. Sehebat apapun penampilan paslon lain pada debat kemarin, tak akan merubah
sedikit pun prefensi pemilih tipe ini.
Efek debat paling kuat ada pada swing voters dan undecided voters. Swing voters adalah
istilah untuk pemilih yang sudah ada pilihan akan tetapi pilihannya masih memungkinkan
berubah. Sementara Undecided Voters merujuk pada pemilih yang belum memiliki pilihan.
Bocoran hasil survey dari beberapa Lembaga survey di tanjab barat, angka swing voters dan
undecided voters voters masih cukup tinggi. Maka, dengan peta kekuatan ketiga pasangan
calon bupati tanjab barat yang cukup berimbang saat ini, paslon yang berhasil merebut swing
voters dan undecided voters paling banyaklah yang akan menjadi pemenang pilkada 9 Desember mendatang.
Penulis : Ahmad Harun Yahya, M.Si
Discussion about this post