PILARJAMBI.COM | JAKARTA – Pinjaman online di Indonesia menjadi salah satu pilihan layanan pinjaman yang sangat mudah. Hanya saja semakin banyak kasus pinjaman online atau pinjol yang kini terungkap karena ketidaksanggupan pembayaran karena besarnya bunga yang diberikan.
Rentetan penggerebekan terhadap sejumlah kantor pinjaman online atau pinjol ini pin dilakukan di berbagai daerah selama sepekan terakhir sejak Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat menindak pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat.
Arahan juga diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menghentikan sementara penerbitan izin bagi pinjol.
Namun, moratorium serta razia dinilai tak akan bisa menekan jumlah lembaga pemberi utang selama literasi keuangan masyarakat masih rendah dan tidak dibarengi dengan edukasi yang efektif dari pemerintah.
Kepala Kajian Digital Ekonomi dari LPEM Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin mengatakan, langkah ini disebut hanya akan membuat lelah pemerintah karena pinjol ilegal akan terus bermunculan.
Persoalan utama yang tak menjadi perhatian pemerintah adalah membangun melek keuangan pada masyarakat, dan pemerintah sejauh ini belum optimal mensosialisasikan pencegahan masyarakat berutang pada pinjol ilegal.
“Ini akar masalahnya besar sekali, kalau menyembuhkan penyakit daripada mencegah penyakit. Jadi pemerintah akan selalu sibuk dengan menyembuhkan penyakit, bukan mencegah penyakit,” kata Chaikal, dikutip dari BBC Indonesia, Senin (18/10/2021).
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) terakhir yang dilakukan OJK menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.
Indeks literasi keuangan ini mencakup pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, serta pengelolaan keuangan dalam mencapai kesejahteraan.
Sementara itu, indeks inklusi keuangan merupakan ketersediaan akses pada pelbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan dari kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan.
Menurut Chaikal indeks literasi keuangan di Indonesia masih rendah, tapi tidak diiringi dengan inklusi keuangannya. Hal inilah yang menjadi akar persoalan, kata dia.
“Jadi, bayangkan, setengah dari yang terinklusi keuangan itu nggak literate, jadi illiterate terhadap literasi keuangan. Inilah yang terjadi.
“Kalau memberangus bad product-nya capek lah, karena bad product akan selalu muncul,” tambah Chaikal.
Selain itu, selama ini pemerintah juga terlalu mengedepankan program-program pinjaman pada masyarakat. Namun, bagi masyarakat yang kurang melek keuangan, pinjaman ini kemudian dialihkan untuk konsumsi.
Sementara itu, Warga Bekasi, Jawa Barat, Zainal Arifin, mengaku kapok mengambil utang dari pinjaman online yang menurutnya ilegal. Dia pinjam Rp1,4 juta, kemudian harus membayar cicilan selama tujuh hari dengan bunga 35%.
“Tapi sebelum tujuh hari, dia biasanya lima hari itu sudah ngejar. Sudah harus dilunasi. Kalau belum dilunasi ya, biasanya mereka mengancam akan menyebarkan data-data kita,” katanya.
Saat itu, Zainal harus mengirimkan foto KTP, lengkap dengan data saudara, teman, dan data yang ada di HP. Data-data ini harus diberikan sebagai syarat awal, bahkan ketika pinjol belum memberikan persetujuan akan memberi pinjaman atau tidak.
Sampai akhirnya utang itu dilunasi, tapi Zainal mengaku masih mendapatkan tawaran utang dari pinjaman online dengan nama-nama perusahaan yang berbeda.
Berdasarkan laporan pemerintah, Zainal merupakan satu dari 68 juta warga Indonesia yang mengambil bagian dari pinjaman online ilegal. Lembaga ini mencatat uang yang berputar dalam jasa pemberi utang ini mencapai Rp260 triliun.
Moratorium izin pinjol
Akhir pekan kemarin, pemerintah menghentikan sementara izin perusahaan pinjaman online.
“Pertama, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan melakukan moratorium untuk penerbitan izin fintech atas pinjaman online legal yang baru dan karenanya Kominfo juga akan melakukan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru, meningkatkan 107 pinjol legal yang saat ini telah terdaftar resmi dan beroperasi di bawah tata kelola OJK,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dalam keterangan pers.
Kementerian Kominfo sejak tahun 2018 hingga 15 Oktober 2021, telah menutup total 4.874 akun pinjaman online yang tersebar di website, Google Play Store, YouTube, Facebook, dan Instagram, serta di file sharing.
Tapi apakah dengan kebijakan terbaru ini, akan serta merta memutihkan utang para peminjam dari pinjol online ilegal?
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing, menjawab tak ada ketentuannya. Persoalannya, kata dia, pinjol ilegal disepakati secara pribadi oleh peminjam dan pemberi utang.
“Tidak ada sesuatu kekuatan yang mengatakan ada pemutihan soal pinjaman, nggak ada menurut saya. Karena itu adalah hubungan pribadi yang sudah disepakati,” kata Tongam kepada BBC News Indonesia.
Tongam Lumban Tobing menambahkan, pihaknya sudah lima tahun terakhir memberantas pinjol ilegal. Namun, tak kuasa menghentikan pertumbuhan mereka karena memiliki server di luar negeri, dan berganti-ganti nama.
Cara warga keluar dari jerat pinjol illegal
Bagi masyarakat yang sudah terlanjur terjerat pinjol illlegal, OJK mengimbau agar mengajukan restrukturisasi; meminta pengurangan bunga, dan perpanjangan masa pembayaran cicilan.
“Kedua, kalau sudah gagal pada pinjaman pertama jangan coba gali lobang tutup lobang, pada pinjaman kedua, akan sangat berbahaya,” kata Tongam.
Selanjutnya, ketika peminjam mendapat teror dan intimidasi dari pelaku pinjol ilegal, OJK juga menyarankan untuk memblokir seluruh nomor ponsel termasuk mengambarkan keluarga. “Kemudian lapor ke polisi,” lanjutnya.
Setelah Presiden Jokowi menyinggung persoalan ini, kepolisian gencar melakukan razia terhadap penyelenggara jasa pinjaman online ilegal di sejumlah daerah, termasuk menutup situs dan aplikasi pinjol online.
Sumber: okezone.com
Discussion about this post