PILARJAMBI.COM | JAMBI – Perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) dinilai enggan menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Pihak manajemen perusahaan tersebut sudah tiga kali dipanggil Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi untuk menyelesaikan konflik lahan tersebut namun tidak pernah datang.
Sementara itu, konflik lahan PT FPIL dengan warga beberapa desa di Kecamatan Kumpeh Ulu, Muarojambi semakin memanas. Selama dua pekan terakhir, warga masyarakat Desa Telukraya, Kumpeh Ulu memblokir jalan ke areal PT FPIL. Pemblokiran jalan ke perusahaan itu pun sempat membuat 26 warga desa ditangkap polisi pekan lalu dan akhirnya dilepas kembali.
Menyikapi konflik lahan berkepanjangan antara warga beberapa desa Kecamatan Kumpeh Ulu, Muarojambi dengan PT FPIL tersebut, kalangan DPRD Provinsi Jambi meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera turun tangan menyelesaikan konflik lahan tersebut.
“Kami mengharapkan Tim Terpadu Penyelesaikan Konflik Lahan PT FPIL dengan masyarakat Kumpeh Ulu Muarojambi segera melibatkan Kementerian ATR/BPN menyelesaikan konflik lahan tersebut. Para ahli Kementerian ATR/BPN perlu turun tangan menyelesaikan konflik lahan tersebut karena mereka yang lebih mengetahui prosedur dan pengukuran kembali lahan hak guna usaha (HGU) yang dikuasai PT FPIL,”kata anggota DPRD Provinsi Jambi, Daerah Pemilihan (Dapil) Batanghari – Muarojambi, Abun Yani di gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin (24/7/2023).
Menurut Abun Yani, Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Lahan Kabupaten Muarojambi dan Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Lahan Provinsi Jambi harus bekerja sama dengan Tim Kementerian ATR/BPN menyelesaikan konflik lahan tersebut. Hal itu penting guna menyeleaikan konflik lahan tersebut bisa dilakukan secara adil, sesuai aturan dan tanpa tindakan anarkisme.
Abun Yani yang juga anggota Komisi III (Bidang Pembangunan) DPRD Provinsi Jambi lebih lanjut mengatakan, Pansus I Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi sudah pernah mengajukan permohonan kepada Kementerian ATR/BPN agar melakukan pengukuran ulang dan memeriksa keabsahan HGU PT FPIL tahun 2022. Namun sampai sekarang pengukuran ulang dan peninjauan lahan HGU perusahaan tersebut tak kunjung dilakukan.
Dijelaskan, regulasi atau aturan untuk mendapatkan HGU lahan perkebunan kelapa sawit sangat sulit dan prosesnya pun sangat panjang. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 tahun 2017 tentang Peraturan dan Tata Cara Perolehan HGU, pemberian HGU dilakukan melalui beberapa tahapan.
Tahap pertama, pengukuran bidang tanah. Kemudian permohonan hak. Selanjutnya penetapan hak dan pendaftaran hak. Selain itu amsih ada pemeriksaan dan penelitian data Yuridis (hokum) dan data fisik yang dilakukan BPN. Jadi aturan pengurusan untuk memperoleh HGU sangat panjang namun jelas.
“Karena aturan memperoleh HGU sangat jelas, pihak PT FPIL sebagai pemohon HGU harus bertanggung penuh atas keabsahan dan kebenaran material dari data yang mereka ajukan ke BPN. Mereka harus bisa menunjukkan dokumen atau berkas surat-surat lahan yang diajukan dalam rangka permohonan HGU. Namun pihak perusahaan enggan menunjukkan surat-surat tersebut,”ujarnya.
Menurut Abun Yani, BPN tidak memiliki kewenangan menguji keabsahan atau keaslian dokumen-dokumen yang diajukan pemohon atau perusahaan. Karena itu dibutuhkan pendalaman (pemeriksaan) keaslian surat-surat HGU PT FPIL tersebut. Salah satu di antaranya pemeriksaan mengenai surat tanah yang diajukan masyarakat desa. Kemudian pemeriksaan mengenai berapa sebenarnya luas HGU yang dikuasai PT FPIL.
“Supaya konflik lahan ini cepat selesai, pihak perusahaan dan warga masyarakat harus bertemu dan membawa data sah kepemilikan lahan. Setelah itu dilakukan pengukuran lahan yang dikuasai kedua belah pihak. Jadi penyelesaian konflik lahan di Kumpeh ini harus dimulai dari pemeriksaan awal pengurusan izin HGU beserta dokumen-dokumen aslinya,”katanya.
Konflik lahan antara PT FPIL dengan warga masyarakat Kumpeh Ulu sendiri sudah terjadi sejak pihak PT FPIL mendapatkan ribuan hektare lahan HGU untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kumpeh tahun 1998. Penguasaan lahan tersebut diduga menyerobot sebagian lahan masyarakat. Selama 25 tahun konflik lahan tersebut belum terselesaikan. ***
Discussion about this post