SEORANG sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Khaldun menyatakan al-Nas ‘ala Dini Mulukihim bahwa pemimpin memiliki peran besar dalam membentuk perkembangan masyarakat. Hingga pada masalah agamapun mereka lebih cenderung mengikuti pemimpinnya (Muqaddimah Ibn Khaldun: 29). Teori di atas mirip dengan apa yang ditemukan oleh psikolog dan sosiolog modern Magdogal (Inggris) dan Tard (Perancis) yang mengatakan, bahwa faktor yang menyebabkan timbulnya perkembangan dalam masyarakat berasal dari hasil kerja dan rekayasa para pemimpinnya, para pembaharu dan ahli pikir (A.A. Wafi, 1985:135).
Pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan dan bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Pemimpin juga adalah seorang ahli dalam organisasi dan masyarakat yang diharapkan menggunakan pengaruh dalam melaksana dan mencapai visi dan misi institusi atau lembaga yang dipimpinnya. Dia adalah memimpin dan bukan menggunakan kedudukan untuk memimpin. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan politik adalah pola interaksi dari faktor karakteristik personal pemimpin, karakteristik dari tim suksesnya dan karakteristik dari konstituante yang dipimpin. Pola interaksi dari ketiganya, serta pengaruh dari suatu konteks sejarah, politik, sosial dan budaya tertentu. Artinya pemahaman yang utuh terhadap keberadaan kepemimpinan politik pada konteks tertentu akan membuat kita lebih fair dalam menilai seorang pemimpin. Pemahaman ini penting, jika kita hendak meletakkan bagaimana menilai kepemimpinan seorang kandidat yang ikut bertarung dalam Pilkada.
Sebagaimana kita ketahui, perebutan kursi kepemimpinan daerah selalu menjadi perbincangan menarik ditengah masyarakat, baik di kalangan masyarakat tingkat atas maupun bawah. Mulai dari soal siapa yang mampu membawa masyarakat pada kesejahteraan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang merata, pemberdayaan SDM, optimalisasi SDA, dan segala hal yang berkaitan dengan pemutusan disparitas sosial lainnya. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang mempertimbangkan kepemimpinan berdasarkan interest pribadinya semata, seperti hubungan kekeluargaan/kekerabatan, hubungan bisnis, partai, hingga pertimbangan isi amplop yang diberikan. Tentunya kita berharap, bahwa Pilkada yang dilaksanakan tahun ini melahirkan pemimpin terbaik di setiap daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
Pemimpin terbaik yang mampu membawa daerah tersebut kepada kemajuan yang diharapkan masyarakat, melanjutkan kepemimpinan sebelumnya dengan mempertahankan apa yang sudah baik, dan meningkatkan apa yang belum maksimal di periode sebelumnya.
Pakar manajemen sumber daya manusia dari Amerika Serikat, Prof Dave Ulrich, menjelaskan hal itu dalam seminar yang diselenggarakan Kompas Gramedia dan GML Performance Consulting di Jakarta, Selasa (20/3).
Kunci kepemimpinan adalah ahli strategi, eksekutor, membangun bakat bawahan, mengembangkan sumber daya manusia, dan mampu menjaga emosi. Ulrich mengingatkan, pemimpin jangan hanya membangun kekuatan sendiri yang belum tentu relevan dengan kebutuhan organisasi. Program pengembangan kepemimpinan masih berorientasi pada aspek psikologi dan terlalu menekankan pada pengembangan individual.
”Kepemimpinan adalah bagaimana tingkah laku pemimpin bisa menular kepada orang lain di sekitarnya. Hal ini akan menyamakan semangat pemimpin dan karyawan sehingga memudahkan mereka bekerja,” ujar Ulrich.
Kepemimpinan teladan adalah suatu ilmu dan seni karismatik dalam proses interaksi antara pemimpin yang dipimpin dalam sebuah kelompok atau organisasi yang mana pemimpin mampu menjadi panutan, menginspirasi, mengubah persepsi, struktur situasi, pemikiran dan mampu mewujudkan harapan anggota masyarakatnya sebagaimana kepemimpinan Nabi dan Rasul. Di sini sebetulnya 14 abad yang silam Islam sudah berbicara mengenai regulasi relasi antar makhluk. Inilah sebetulnya etika Islam (al-akhlaq al-karimah) itu. Konsep Al-akhlaq al-Karimah atau akhlaq karimah –bukan akhlaqul karimah– sering dipahami secara simplistik, artinya bahwa akhlak itu hanya dipahami sebatas sopan santun saja. Padahal al-akhlaq al-karimah itu mencakup berbuat kebajikan kepada semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta ini (mencakup persoalan ekologi, HAM, keadilan, demokratisasi, ketimpangan sosial dan sebagainya).
Sebagaimana kata adab, atau al-adab sering dipahami secara sederhana, tata krama atau sopan santun murid dengan guru atau anak dengan orang tua. Padahal al-adab itu memiliki ekstensi makna ta’dib yang berarti mengembangkan peradaban..
Maka, dalam situasi mutakhir seperti ini, sebenarnya kita tidak lagi membutuhkan pemimpin atau calon pemimpin yang hanya memiliki kapasitas tehknis atau intelektual untuk membereskan banyak soal kenegaraan dan kebangsaan diatas lembar-lembar angka dan statistik. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang hanya sekedar menjadi eksekutor regulasi dan konstitusi dan berhenti pada hasil kompromi politik diantara beberapa kepentingan.
Kita lebih membutuhkan pemimpin yang bukan hanya seorang insinyur pembangunan atau teknokrat kenegaraan, melainkan seorang pemimpin yang mampu membaca ruh atau kultur yang mengendap, tersembunyi atau disembunyikan. Hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan alasan untuk menciptakan promosi sebuah adab. Memberadadkan manusia dan kebudayaan menuju harkat tertinggi sebagai manusia, sebagai mahkluk yang diberi semua kelebihan oleh Nya.
Pesan utamanya hanya satu saja, para pemilih, sudah tentu dengan terlebih dahulu mengecek hati nuraninya, diharapkan menjatuhkan pilihannya kepada kandidat yang mempresentasikan adab dan moralitas tertinggi. Dan kita sudah menyaksikan itu dalam debat kandidat calon kepala daerah Provinsi Jambi, pada hari Sabtu (24/10/2020) lalu.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post