BISAKAH mengukur kekuatan para calon Gubernur Jambi dengan mengunakan 800 an Responden ? Tanya seorang teman ngopi yang sebetulnya jarang sekali ketemu selain dari media sosial kemarin.
Pertanyaan ini kujawab, “ohh tentu bisa selama yang diwawancarai mewakili populasi jelasku, dan setelahnya diskusi kami panjang lebar, keluar masuk ranah statistik, asumsi dan narasi hingga masuk kembali pada metodologi survei politik, uniknya kesemua obrolan praktis itu terjadi di salah satu warung kopi di Kota Jambi bukan ranah seminar atau dialog formal.”
Politik hari ini memang melahirkan asumsi dan narasinya sendiri, tidak lagi mengalir apa adanya mengikuti gaya dari seorang calon. Dalam konteks ini hampir semua pendukung memiliki asumsi sendiri tentang calon Gubernur yang didukungnya, karena asumsi sudah dikembangkan narasi politik pun mengikuti.
Salah satu narasi yang kini menjadi trend dan selalu dikembangkan oleh timses atau pendukung adalah tentang survei Pilgub Jambi dengan segala dimensinya.
“Survei lembaga anu Nov (sembari menyebut nama lembaga survei papan atas di Ibukota ) calon saya sudah 40 persen Elektabilitasnya, hampir semua pemilih wanita memilih kami, dan kandidat anu tertinggal jauh,” ungkap teman bicara saya penuh semangat.
Sebenarnya saya cukup terkejut ketika ia mampu berbicara tentang kontruksi pengenalan calon (popularitas), penerimaan calon (akseptabilitas) hingga tingkat keterpilihan (elektabilitas) secara baik ditambah bonus cerita bagaimana bisnis survei dijalankan dan pembuktian melalui pembicaraan telpon dengan pimpinan salah satu lembaga survei di Jakarta bahwa survei calonnya lagi dikerjakan.
Keterkejutan yang lebih pada bentuk kekaguman sebenarnya, mengingat pekerjaan teman tersebut sebenarnya bergerak di sektor Konstruksi dan kini ia menjadi tim sukses seorang calon gubernur. Rasa kagum ini bertambah saat terbayang dalam benak saya menjelang pencalegan 2014 silam, sang teman masih sibuk ngurus paket C nya untuk bisa nyaleg, walau akhirnya tak jadi nyaleg untuk fokus usaha, tapi kemampuannya untuk berbicara survei dengan konstruks lengkapnya mendekati pengamat sekalipun. Nampaknya survei telah menjadi obrolan warung kopi yang amat populer, siapa saja bisa membicarakannya tanpa melihat status, pekerjaan dan pendidikan lagi.
Namun kondisi ini tentu saja menimbulkan disinformasi di dunia survei itu sendiri sebenarnya. Karena jika bicara akurasi dari data yang di obrolkan pembicaraan di warung kopi justru amat bias, suka-suka dan tidak bisa dijadikan rujukan sama sekali, tergantung siapa yang ngobrol dan di pihak mana ia berada dalam Pilgub kali ini.
Selaku pihak yang sering melakukan survei pilkada, lembaga survei sendiri sebenarnya selalu diminta tidak banyak bicara tentang hasil surveinya, penulis bahkan pernah di datangi ke Jambi oleh bakal calon Walikota Sawahlunto Sumatera Barat,hanya untuk presentasi Survei, karena takut datanya bocor atau diketahui pihak yang tidak perlu.
“Saya takut orang salah mengartikan datanya bang nov, kan kacau nanti, ungkap bakal calon walikota yang berprofesi dokter gigi tersebut.”
Kekhawatiran seperti yang ditunjukkan bakal calon walikota ini sebenarnya mewakili dari kegunaan dasar dari survei pilkada dilakukan. Dahulu awalnya survei dilakukan untuk pemetaan kekuatan seorang calon, dari hasil surveilah diketahui strategi apa yang akan dilakukan dengan tingkat kekuatan yang ada, disinilah pentingnya silent sebuah survei, karena jika sudah diketahui orang banyak, strategi yang dirumuskan pun akan kurang efektifitas nya. Jadi survei yang baik adalah survei yang tidak diobrolkan dalam ranah publik, karena itu bagian dari sebuah strategi.
Namun, itu hanya pemahaman saya buktinya kini banyak calon dan tim suksesnya menjadikan Survei alat propaganda tentang peluang menang mereka. Sah-sah saja sih, walau kini dosis pembicaraan tentang survei sudah amat berlebih, sehingga orang tak bisa lagi membedakan mana yang betulan dan mana yang hanya cerita di warung kopi. Wallahu alam bishawab.
*Penulis adalah Direktur Media Center FU SN
Discussion about this post