PILARJAMBI.COM | JAMBI – Persoalan minyak goreng di Indonesia belum final diselesaikan oleh pemerintah. Baik persoalan harga, kebutuhan masyarakat, kebutuhan pelaku usaha hingga jumlah stok yang dimiliki untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain pelaku usaha kecil, perempuan khususnya emak-emak yang lebih terdampak dari harga dan jumlah minyak goreng ini.
“Dampak terhadap emak-emak ya pastilah. Pengeluaran setiap bulan tentunya bertambah,” ujar Direktur Beranda Perempuan, Zubaidah saat dikonfirmasi pilarjambi.com, Rabu (23/03/22).
Menurutnya, perempuan merupakan pengelola manajemen keuangan dalam keluarga, tentunya membuat pusing karena menambah nominal belanja dan terpaksa mengurangi jumlah belanja.
“Biasanya kita dengan uang Rp50.000 sudah bisa mencukupi belanja. Tapi sekarang dengan harga minyak goreng yang mahal, tentunya belanja dapur dikurangi dengan uang segitu,” sebutnya.
Terkait ketidakpastiannya kebijakan pemerintah terhadap persoalan minyak goreng di Indonesia, Zubaidah mengatakan pemerintah masih ketergantungan dengan pasar luar (luar negeri.red). Pemerintah harus kembali mempunyai otoritasnya untuk mengelola sendiri yang ada di dalam negeri ini.
“Kita harus bangun industri dalam negeri, sehingga kita tidak tergantung dengan pasar,” ujarnya.
Dengan luasnya perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 70 persen tanah di tanami sawit, Zubaidah menilai hal tersebut tidak masuk akal jika masih krisis minyak goreng.
“Dengan jumlah itu, kanapa kita tidak bisa menyediakan sendiri. Seharusnya minyak goreng kita melimpah. Kepada pemerintah jangan tergantung dengan kepentingan investasi. Selanjutnya mulai membangun industri nasional yaitu mengelola sawit hingga bahan jadi,” pungkasnya. (Alpin.R)
Discussion about this post