PILARJAMBI.COM, JAMBI – Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum berupa demo atau unjuk rasa menjadi topik hangat akhir-akhir ini di Provinsi Jambi.
Undang-undang menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum bagi setiap warga negara. Meski demikian, UU No. 9 Tahun 1998 juga memberikan pembatasan-pembatasan berupa kewajiban bagi warga negara yang akan menyampaikan pendapat di muka umum untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
Untuk ini terkadang warga negara yang melakukan demo atau unras mengabaikannya, misalnya menggunakan fasilitas umum jalan untuk aksi demo dan waktu yang sudah lewat sebagaimana ditentukan sehingga mengganggu masyarakat yang akan beraktivitas.
Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jambi, Drs H Apani Saharudin mengatakan, setiap konflik yang ada di Provinsi Jambi khususnya konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan pasti dilakukan dengan aksi unjuk rasa hingga berhari-hari dan tak jarang melakukan pemblokiran akses jalan, yang tentu saja ini mengganggu masyarakat lain beraktivitas.
“Kalau mau menuntut hak, hargai jugalah hak-hak orang lain,” kata Apani, Jum’at (29/7/2023)..
“Sebagai bagian dari pemerintah, kami tidak melarang adanya demo/unjuk rasa, itu sudah dijamin oleh UU kita. Namun seharusnya alangkah baiknya mereka juga paham kewajiban lain yang ada di UU No. 9 Tahun 1998,” sambungnya.
Ditambahkan Kepala Kesbangpol Provinsi Jambi, sebagaimana terjadi pada saat aksi unjuk rasa ratusan warga Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi memblokir akses jalan masuk menuju PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), sehingga aksi tersebut dibubarkan paksa oleh Polisi. Namun dampak dari pembubaran tersebut memunculkan polemik di masyarakat luas yang menyudutkan Polri.
“Langkah-langkah yang telah dilakukan Polda Jambi dalam membubarkan aksi tersebut sudah tepat, karena sebelum dibubarkan paksa Polda Jambi terlebih dahulu mengedepankan upaya-upaya persuasif bersama perangkat desa dan pemerintahan,” Lanjut Apani.
Sangat disayangkan adalah ulah oknum yang tidak bertanggungjawab dengan memanfaatkan momen pembubaran paksa lalu di framing sedemikian rupa dan diviralkan dimedia sosial dengan tujuan menguntungkan suatu kelompok tertentu.
“Ini tentu saja sangat merugikan masyarakat, padahal UU sudah memberikan langkah-langkah hukum bagi masyarakat untuk menuntut haknya melalui proses peradilan. Kenapa ini tidak ditempuh,” tandasnya. (*)
Discussion about this post