Oleh: Hendry Nursal
MALAM telah menyelimuti, saya menuju pulang ke rumah yang berjarak sekira 15 menit mengendarai kendaraan bermotor roda dua menempuh perjalanan dengan kecepatan normal dan jalanan lancar tanpa kemacetan.
Entah mengapa walaupun sangat sering melewati jalan biasa yang saya lalui, namun malam itu saya menoleh dan terlihat sebuah tulisan berdiri di area yang sedang dalam pembangunan. Tulisan itu membuat saya terus berpikir hingga sampai ke rumah, hingga menjelang tidur bahkan saat kembali terbangun di pagi hari.
Area tersebut adalah tanah milik provinsi Jambi, HPL: No.10 Tahun 2007 dengan luas 51.163 Meter persegi (5,3 hektare), bekas lahan pasar Angso Duo. Pasar Angso Duo telah menjelma menjadi pasar tradisional berkonsep moderen berdiri kokoh tepat disebelahnya dikelola oleh PT Eraguna Bumi Nusa (EBN).
Lahan bekas pasar Angso Duo lantas digagas untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) oleh pemerintah Provinsi Jambi, tentunya itu ide brilian, ide kreatif dengan tujuan mempercantik, menjadikan kota Jambi sebagai Ibu Kota provinsi Jambi semakin elok serta pada akhirnya kebanggaan bagi penghuninya.
Sempat lama terabaikan, di bulan Juni 2022 mulailah pengerjaan untuk meratakan tanah, mempersihkan sisa bangunan, sampah dan sebagainya. Konon, pemerintah provinsi Jambi menggelontorkan 35 Miliar Rupiah untuk membangun RTH.
Menarik dan semakin tidak sabar saya khususnya menantikan kehadiran RTH yang dibangun dengan desain menggambarkan sejarah Jambi: Ada bangunan yang gambarkan sejarah awal angso duo menemukan Kota Jambi; ada gambar angso duo dan sejarahnya; ada taman bermain; ada resort dan restoran kelas nasional; lalu selain menjadi pilihan bersantai bagi masyarakat; bisa pula menjadi lokasi penyelenggaraan festival/event, begitu kata Gubernur Jambi, Al Haris pada Mei 2022 sebagaimana disiarkan berbagai media.
Saya semakin penasaran, sungguh tidak sabar menanti agar dapat menikmatinya bersama keluarga kecil saya kesana. Menikmati berbagai fasilitas, berbagai kuliner sembari menyaksikan sungai Batanghari di kala senja menjelang, sembari melihat kokohnya Menara Gentala Arasy yang terkoneksi dengan terbentangnya Jembatan Pedestrian sepanjang 503 meter diatas sungai Batanghari.
Tadi saya menyatakan bahwa digagasnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) oleh pemerintah Provinsi Jambi di lahan bekas pasar Angso Duo, tentunya itu ide brilian karena kalau kita merujuk dari laman walhijambi.or.id (tidak tertera tanggal publikasi)
“Dari hasil data yang kita peroleh, RTH Publik untuk kawasan Kota Jambi masih terhitung sangat kurang memadai, Jumlah luasan kekurangan RTH publik di Kota Jambi adalah 3274,58 Ha. Hal ini disebabkan oleh padatnya penduduk kota Jambi serta penataan kota Jambi lebih merujuk di pembangun di bidang perumahan, perkantoran, hotel, kawasan industri dan pergudangan, sarana dan prasarana”
“Dalam Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mensyaratkan ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20 persen publik dan 10 persen privat, ini membawa konsekuensi setiap lahan yang kita tempati, idealnya minimal 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau”
Apa Itu Ruang Terbuka Hijau, Fungsi dan Manfaatnya
Dari tulisan Milka Priskila di laman foresteract.com, Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang atau jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Ruang terbuka hijau adalah suatu ruang terbuka yang kawasannya didominasi oleh vegetasi baik itu pepohonan, semak, rumput-rumputan, serta vegetasi penutup tanah lainnya.
Kawasan ini didirikan berdasarkan kebutuhan dan peruntukkan dalam wilayah tersebut. Tidak hanya untuk menjaga dan menyeimbangkan kondisi lingkungan atau ekosistem sekitarnya, tetapi juga menyediakan tempat untuk melakukan aktivitas sosial yang memadukan dengan estetika alam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, pengertian ruang terbuka hijau adalah ruang memanjang/ jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Dalam perencanaannya, ruang terbuka hijau memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dan kawasan tersebut.
Fungsi Ekologis
Pertama ada fungsi ekologis yaitu area ini dibuat dengan fungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti peningkatan kualitas air tanah, menurunkan peluang terjadinya banjir, mengurangi polusi udara, dan memiliki peran dalam pembentukan serta pengaturan iklim mikro.
Fungsi Sosial Budaya
Selain itu, ada juga fungsi sosial budaya. Ruang terbuka hijau didirikan atau dibangun dengan harapan mampu untuk memberikan fungsi sosial budaya bagi masyarakat.
Area ini dapat menjadi tempat atau ruang dalam kegiatan interaksi sosial, sarana rekreasi, penanda kawasan, hingga menjadi tempat untuk penelitian dan pendidikan.
Fungsi Ekonomi
Fungsi lainnya adalah fungsi ekonomi di mana area ini tidak hanya memberikan fungsi ekologis, tetapi juga dapat berkontribusi dalam bidang ekonomi.
Tempat ini dapat dijadikan dan dikembangkan sebagai daerah wisata hijau di perkotaan yang dapat meningkatkan daya tarik bagi masyarakat, wisatawan lokal, hingga wisatawan asing untuk mengunjungi tempat ini.
Fungsi Estetika
Fungsi estetika sudah pasti ada dalam area ini. Perencanaan dan penataan yang sudah dilakukan dengan baik tentu saja tidak menghiraukan sisi keindahan yang akan ditunjukkan dari area ini. Ruang terbuka hijau akan memberikan nilai estetika sehingga meningkatkan kenyamanan masyarakat akan kawasan tersebut melalui jalur hijau dan keberadaan taman.
Berbeda dengan fungsi, ada pula manfaat yang diberikan. Manfaat ini dapat diperoleh dari fungsi-fungsi yang ada. Manfaat yang diperoleh terbagi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
Manfaat Langsung
Manfaat langsung adalah manfaat yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, pengunjung, ataupun pihak lainnya.
Salah satunya adalah manfaat yang diperoleh dari fungsi estetika seperti keindahan yang membuat masyarakat serta orang-orang yang berkunjung ke area ini merasa nyaman.
Selain itu, juga didapatkan dari fungsi sosial budaya yang menyediakan tempat yang untuk melakukan kegiatan interaksi serta rekreasi.
Manfaat Tidak Langsung
Jenis manfaat lainnya adalah manfaat tidak langsung. Area ini juga memberikan manfaat tidak langsung.
Manfaat ini dapat dirasakan untuk jangka waktu yang panjang. Manfaat ini diperoleh salah satunya dari fungsi ekologis sebagai peningkat kualitas lingkungan serta dari fungsi ekonomi misalnya apabila dari area ada yang dihasilkan untuk dijual seperti buah, bunga, dan daun.
Nah, menarik bukan? tentunya kita selaku warga kota Jambi khususnya sangat menantikan kehadiran RTH itu untuk dinikmati bersama keluarga tercinta.
Lantas apa yang membuat saya terus berpikir hingga sampai ke rumah, hingga menjelang tidur bahkan saat kembali terbangun di pagi hari, setelah melihat sebuah tulisan yang berdiri kokoh di area yang akan dibangun RTH?
Pagi harinya saya memutuskan untuk melewati jalan itu kembali, memastikan tulisan yang saya baca saat malam hari melewatinya, ya bisa saja saya salah baca karena kondisi malam. Ternyata saya tidak salah baca, saya juga tidak mengetahui secara pasti apakah penamanaan itu hanya untuk satu bagian saja? atau memang kawasan RTH itu nanti setelah diresmikan bernama yang sama?
Seperti judul edisi Kopi Raina kali ini yang saya tuliskan “Ruang Publik di Kota Jambi ‘Melupakan’ [dan/atau] Bahasa Indonesia Tidak Indah Untuk Diucapkan?” coba kita ulas ya, dengan berbagai referensi yang bisa anda lihat sumbernya.
Di laman kemdikbud.go.id (Tanggal 8 November 2021) berjudul “Dari Mana Datangnya Bahasa Indonesia?” menguraikan Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak semakin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Disamping itu “Pemartabatan Bahasa Indonesia pada Ruang Publik” di laman badanbahasa.kemdikbud.go.id (Tanggal 12 April 2021) Ruang publik menjadi salah satu perwajahan Indonesia untuk memartabatkan bahasanya. Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik telah diatur dalam Pasal 36, 37, dan 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik harus diutamakan dibandingkan dengan bahasa lainnya.
Bagaimana,? Kopi Raina tidak bermaksud menggurui disini karena pastinya pemikir, peneliti, tim ahli dan banyak pihak memberikan pertimbangan dalam penamaan suatu tempat apalagi itu adalah ruang publik. Apakah saya yang terlalu ‘lebay’ melihatnya? atau perlu dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait?
RTH yang sedang dibangun, di gadang-gadang menjadi ikon baru di kota Jambi khususnya dan provinsi Jambi umumnya. Namanya yang disematkan dan menjadi saya terus terpikir “PUTRI PINANG MASAK PARK”, Putri Pinang Masak adalah legenda cerita rakyat dari Jambi, terkenal dengan kecantikannya yang menawan hati. Tak mengherankan banyak raja dan putra raja yang menghendaki mempersuntingnya. Jika belum mengetahui legenda tersebut bisa dibaca dilaman mengenaljambi.blogspot.com “Cerita Rakyat Jambi Putri Pinang Masak”
Tentu nama itu menjadi gambaran alangkah cantik, indah dan menawan hati RTH yang saat ini terus berjalan proses pengerjaannya. Namun mengapa harus terpampang satu kata diujungnya yaitu “Park”? mengapa harus menggunakan bahasa asing? apakah bahasa Indonesia tidak indah, apakah dengan tulisan Taman Putri Pinang Masak menjadikan dia tidak menarik?
Sumpah pemuda rasanya kini telah ‘kurang artinya’ (maaf ini opini pribadi saya), sangat jelas amanat Pasal 36, 37, dan 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik harus diutamakan dibandingkan dengan bahasa lainnya.
Sedih rasanya, ketika anak saya nanti membaca tulisan yang tertera malah dengan bahasa asing ‘PARK’. Saya jadi teringat pesan dosen di masa kuliah, bahwa bahasa Indonesia terbentuk dari Bahasa Melayu, Bahasa daerah dan (serapan) bahasa Asing. Tapi mengapa bahasa serapan itu menjadi yang utama,? saya sekali lagi tidak menggurui, tidak pula merasa lebih pintar, tidak merasa paling paham, paling peduli.
Jikalau ingin ada penggunaan bahasa Asing mengapa tidak disandingkan saja? akan sangat bermanfaat karena langsung memberikan pengetahuan bahwa PARK berarti TAMAN dalam bahasa Indonesia. Maaf para pengambil kebijakan, pengunjung terbesarnya nanti adalah Warga Kota Jambi, dahulukan lah bahasa Indonesia.
Kalaupun ada warga negara Asing, mereka tentu akan merasa benar-benar berada di negara lain, tepatnya Indonesia saat membaca tulisan TAMAN. Bukan PARK? jika PARK apa bedanya dengan negara mereka, atau pada umumnya negara-negara barat di benua Eropa atau Amerika atau lainnya.
Lantas kalau ada kata-kata, kita harus berpikir Go International,? coba kita lihat ke negara-negara lain dan berseluncur melalui internet, banyak negara menggunakan bahasa Negaranya dalam penamaan di ruang publik, namun disiasati dengan dua bahasa.
Apakah kabupaten dan kota lain dalam provinsi Jambi juga sama,? saya hanya fokus di kota Jambi karena sebagai Ibu kota provinsi Jambi, sebagai ‘muka’ negeri Sepucuk Jambi sembilan Lurah
Kita garis bawahi di Kota Jambi, Ini pun baru satu contoh, penggunaan bahasa asing di ruang publik dalam Kota Jambi, seperti Bandar Udara menggunakan kata ‘Airport’, pusat perbelanjaan, toko-toko, pusat bermain, komplek-komplek perumahan dan masih banyak lagi. Sungguh tak ada arti rasanya Kantor Bahasa yang berdiri di Jambi, yang terus memberikan edukasi pada pelajar khususnya.
Dan lebih miris lagi rasanya, apakah tidak ada arti perjuangan para guru-guru di sekolah mengajarkan siswa/i nya hingga para dosen bahkan menyandang Doktor, profesor konsentrasi ilmu bahasa Indonesia di kampus-kampus yang ada di provinsi Jambi.
Saya berulang kali menyatakan tidak menggurui, tidak pula merasa lebih pintar, tidak merasa paling paham, paling peduli….kalau bukan kita menjadikan bahasa Indonesia suatu kebanggaan, menyatukan negara kesatuan Republik Indonesia, siapa lagi? Semoga bermanfaat!
Selamat Hari Ulang Tahun Ke-66, Provinsi Jambi (6 Januari 1957 – 6 Januari 2023) Mantap “Membangun Negeri” Salam dari Jambi untuk Indonesia, dari Jambi untuk Dunia.
*Penulis:
Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Riset SMSI Provinsi Jambi
Discussion about this post