PERMASALAHAN lingkungan yang sering dihadapi oleh masyarakat pada saat ini adalah terjadinya bencana banjir pada musim penghujan serta kejadian kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan alam tersebut juga disebabkan factor masyarakat menggunakan tempat-tempat yang tidak dianjurkan untuk menjadi tempat pemukiman, seperti bantaran sungai dan juga menebangi hutan secara besar-besaran sehingga ekosistem berubah fungsi dan menimbulkan dampak lingkungan. Fungsi hutan pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.
Mengenai fungsi sosial budaya dari hutan dapat dilihat dengan adanya keterkaitan moril dan spritual antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, termasuk dalam hubungannya sebagai sumber mata pencarian, hubungan religius, hubungan adat dan sebagainya. Berdasarkan fungsi tersebut dapat dikatakan bahwa hutan di Indonesia memiliki multi fungsi. Selain sebagai sumber mata pencaharian, hutan juga menyimpan keanekaragaman species dan genetik, mesin pemroses dan penyimpan karbon serta stabilisator iklim dunia.
Pada tingkat lokal, hutan menjamin ketersediaan pasokan air bersih, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan timbul sebagai akibat dariperbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam akan menimbulkan suatu perubahan terhadap ekosistem yang akan mempengaruhi kelestarian sumber daya alam itu sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya akan mendoron terjadinya suatu bencana yang akan merugikan masyarakat juga.
Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, social budaya dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi, distribusi,fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional. Hutan lindung sebagai aset bangsa menjadi perhatian semua kalangan baik itu pemerintah, masyarakat, peneliti, LSM dan dunia internasional yang pada saat ini telah terancam kelestariannya.
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Menurut hasil kajian Walhi (2018), dari hutan seluas 923,013 juta hektar kini tinggal 22,19% yang tersisa dalam bentuk hutan lindung. Di luar itu, setiap tahun, seluas 296 ribu hektar beralih fungsi dengan alasan bisnis, investasi dan pembangunan fisik yang kini sedang digenjot pemerintah dan kalangan investor.
Walhi menyebutkan bahwa jika kegiatan deforestasi hutan dan alih fungsi lahan terus dibiarkan, ditaksir hanya dalam waktu kurang dari 50 tahun, negeri ini tidak lagi memiliki hutan yang mampu melindungi tanah dan lahan dari bencana banjir dan longsor. Alih fungsi kawasan hutan adalah tindak lanjut dari proses pelepasan kawasan hutan yang artinya adalah telah terjadinya perubahan fungsi pokok hutan menjadi kawasan non hutan seperti pemukiman, areal pertanian dan perkebunan.
Alih fungsi hutan lindung di beberapa daerah pada saat ini semakin banyak dan mengkawatirkan bagi kondisi ekologi dan ekosistem sekitarnya, khususnya di daerah pegunungan yang lahan hutan lindungnya menjadi lahan pertanian, lahan perkebunan atau beralih fungsi menjadi perumahan warga yang dilegalkan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat ataupun bentuk penyerobotan karena factor tingkat penduduk yang semakin bertambah.
Dengan adanya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terbaru, membolehkan hutan lindung diubah fungsinya menjadi lahan food estate.
Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, membolehkan hutan lindung diubah menjadi lahan food estate. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 19 Permen LHK Nomor 24 tahun 2020 diatas, kawasan hutan lindung bisa diubah menjadi lahan food estate, apabila kawasan hutan lindung sudah tidak sepenuhnya berfungsi melindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menjadi pertanyaan bagi penulis adalah dalam pasal 1 ayat 4 dalam Permen LHK tersebut sudah sangat jelas menerangkan apa yang dimaksud dengan hutan lindung dan fungsinya.
Seandainya kawasan hutan lindung yang dimaksud pasal 19 Permen LHK itu tidak berfungsi sudah seharusnya difungsikan kembali seperti yang tertuang dalam Permen LHK No. P.105/MENLHK/SETJEND/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Intensif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitas Hutan dan Lahan, bukan di alih fungsikan menjadi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate. Seperti yang dilansir detik.com (17/11/20), Komisi IV DPR mengkritik kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memperbolehkan kawasan hutan lindung menjadi lahan food estate. Keluarnya Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 24 Tahun 2020 dinilai menjadi kabar buruk bagi pengelolaan hutan. Dalam Permen LHK juga disebutkan kawasan hutan lindung bisa diubah menjadi lahan food estate asalkan sudah tidak berfungsi sepenuhnya sebagai hutan lindung.
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan, hingga kini tidak ada data yang menyebutkan hutan lindung mana saja yang sudah tidak berfungsi sepenuhnya. Kekhawatiran terbesar adalah orang akan berbondong-bondong merambah hutan lindung untuk ditebang dan dikonversi dan kemudian dilegalkan dengan Permen ini. Bagaimana pengawasan di lapangannya?
Belum lagi kita berbicara mengenai dampak kerusakan lingkungan, seperti bencana tanah longsor dan kekeringan. Ini harusnya juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan. Jadi, dimanakah hutan lindung berlindung?
*Penulis adalah Seorang Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post