PILARJAMBI.COM | MUAROJAMBI– Puluhan kasus konflik lahan terjadi di Kabupaten Muaro Jambi. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Muaro Jambi, setidaknya ada sebanyak 31 kasus konflik lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten berjuluk Bumi Sailun Salimbai ini.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Muaro Jambi Usman Halik menyampaikan, pihaknya meminta kepada Tim terpadu (Timdu) Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi agar mengambil langkah-langkah penyelesaian sesuai dengan mekanisme serta regulasi yang berlaku.
“Kami atas nama Dewan Muaro Jambi meminta kepada Tim terpadu Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian, agar konflik lahan di Muaro Jambi bisa terselesaikan. Supaya masyarakat bisa tenang dan tidak ada lagi masyarakat yang berbenturan dengan aparat penegak hukum,” kata Usman Halik, Senin (25/9/23) siang.
Legislator Fraksi PDI Perjuangan DPRD Muaro Jambi ini meminta, kepada pihak Pemerintah Kabupaten, Kecamatan maupun Pemerintah Desa agar kedepan bisa dapat mengantisipasi agar kejadian konflik lahan ini tidak terjadi lagi kedepannya.
Ia menyampaikan, agar pihak Pemerintah Kabupaten jangan mudah memberikan ijin kepada perusahaan-perusahaan, sebelum tahu kondisi asal-usul tanah yang diinginkan oleh perusahaan tersebut.
“Masyarakat jangan dikorbankan. Misalnya ada pola kerjasama, buatlah pola kerjasama yang benar dan perjanjian yang tepat. Jangan sampai nanti masyarakat yang jadi korban,” katanya.
Mantan Wakil Ketua DPRD Muaro Jambi periode 2004-2009 itu juga meminta kepada masyarakat agar harus mengetahui kisah atau asal-usul dari perizinan perusahaan yang ada di wilayahnya masing-masing.
“Kalau lah orang tua mereka dulu, sudah menyerahkan lahan itu dengan pola ganti rugi atau pola kerjasama, jangan lagi anak-anaknya meributkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang tuanya terdahulu,” katanya.
Legislator dapil II (Kecamatan Kumpeh dan Kumpeh Ulu) itu mengatakan, beberapa hal yang menjadi penyebab konflik lahan uang terjadi yaitu, perizinan yang tidak jelas, pola kerjasama yang tidak jelas, adanya dugaan oknum Pemerintah Desa maupun Kecamatan dan Kabupaten yang bermain, dan adanya penumpang gelap yang memanfaatkan masyarakat untuk mencari keuntungan.
“Kepada Desa-desa yang sedang memperjuangkan hak-hak mereka, agar jangan sampai ditunggangi oleh penumpang-penumpang gelap. Nanti, ujung-ujungnya masyarakat tidak dapat apa-apa,” katanya.
“Jika pun ada pakai pihak ketiga, harus dipilah pilah terlebih dahulu. Apakah mereka benar-benar mau membantu menyelesaikan masalah atau hanya sekedar mencari keuntungan,” tukasnya.***
Discussion about this post