PERTANYAAN itu sering saya dapati sejak awal mengerucutnya nama Alharis-Abdullahsani di kontestasi pilgub 2020. Terlebih saat beberapa partai dikabarkan membulatkan dukungan untuk “Wo Haris – Pak Dul”.
Saat awal ombak berita pilgub mulai menggulung, beberapa bakal kandidat membuka komunikasi dengan bapak. Dengan cara dan narasi yang berbeda tentunya. Ada yang bertemu langsung, ada juga yang melalui utusan. Ada yang secara langsung meminta untuk didampingi, ada juga yang dengan isyarat.
Beberapa waktu Bapak membiarkan arus informasi dan tensi politik yang semakin tak menentu. Setelah merasa menemui moment yang tepat, Bapak berdiskusi dengan banyak pihak. Upaya pemantapan hati pun dilanjutkan dengan beristikhoroh. Mencoba berfikir jernih dan meminta petunjuk dari Yang Maha Mengetahui. Karena ada keputusan sangat penting yang harus segera diambil. Bapak harus berkomitmen pada satu calon kandidat. Satu calon yang kelak akan diupayakan dengan segala daya agar nama mereka berdua tertulis di surat suara. Dan dipilih mayoritas masyarakat Jambi 9 Desember mendatang.
Waktu itu, beberapa hari setelah mengajak kami ikut berdoa dan mempertimbangkan, Bapak mengumpulkan kami di ‘depan TV’. Ya, depan TV. Seperti rumah keluarga menengah lainya, kami punya satu ruang berukuran sedang yang hanya tersedia televisi namun menjadi ruang serba guna keluarga. Kadang jadi tempat nyantai sambil nonton tv, ngobrol sambil ngopi, baca buku, bikin PR, makan sambil nonton berita, dan berbagai aktivitas harian lainya. Karena TV hampir selalu menyala menemani aktivitas di ruangan ini, kami menyebutnya ‘depan tivi’.
Dengan nada datar namun menggetar, bapak berkata: “sepertinya Bapak sudah dapat jawaban dari yang kita bahas kemarin. Kayaknya bapak yakin dengan Pak Haris. Bagaimana pendapat kalian?”
Sudah menjadi kebiasaan beliau, meski sudah yakin untuk mengeksekusi satu hal, beliau selalu meminta pendapat kami: Istri dan anak-anaknya. Meskipun pada nyatanya wawasan dan jangkauan berfikir beliau jauh lebih luas dari yang kami miliki.
Mendengar bapak bilang begitu, Mamak masih diam dan terlihat berfikir. Tak berapa lama, Kakak saya yang tertua menjawab: “Kalau bapak yakin, kami yakin. Yang jelas, disepakati dulu, kalo semua sudah sepakat, kito semua harus nanggung konsekuensi samo-samo. Sepakati dulu.”
Ayuk saya menambahkan “Bapak yang tau mano yang paling baik dari beberapa orang tu, kami ikut bae.”
Mamak menanggapi dengan berucap “Iyo”. (Ini kalimat sederhana yang penting bagi seisi rumah. Bila beliau tidak melarang, berarti satu rencana bisa dilanjutkan. Terlepas dari diksi “Patriarki-Matriarki” dalam kajian sosiologi, begini tradisi kami).
Dua adik saya hanya diam. Keduanya jarang berargumen kalau memang tidak begitu tau seluk beluk pembahasan.
Karena mamak sudah bersuara dan mengiyakan, saya pun mengeluarkan hak suara saya, “Terserah bapak nantinya sama siapa. Tapi, kalau sudah yakin dan tidak ragu lagi, baiknya kemungkinan perundingan serius dengan bakal kandidat lain, ditutup.”
Mendengar tanggapan itu, yang lain serempak mengiyakan “betul”.
Keputusan bapak untuk mendampingi Alharis itu akhirnya disepakati seisi rumah. Lalu keesokan harinya disampaikan ke keluarga besar, kerabat dan simpatisan beliau. Meski dengan resiko:
- Seandainya Alharis batal mencalonkan diri, Bapak juga batal mencalonkan diri.
- Seandainya Alharis kemudian memilih calon wakil yang lain, Bapak harus ikhlas untuk tidak tampil.
Meski saat itu banyak yang mengkhawatirkan Alharis melanggar komitmen, namun nyatanya sejak awal berstatemen akan berpasangan dengan Pak Dul, Alharis tidak pernah tampak beranjak ke bakal calon wakil yang lain. Tidak seperti bakal calon gubernur yang lain.
Meski awalnya banyak juga yang mengkhawatirkan bapak tidak mendapat usungan partai, namun nyatanya, beliau berdua telah ditetapkan Secara resmi oleh KPU sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Iya. Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan sama-sama kita sertai dalam gerakan #sejutasuaraharissani.
Discussion about this post