PILARJAMBI.COM | YOGYAKARTA – Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Nitya Budaya di Keraton Yogyakarta GKR Bendara, mengajak masyarakat menghargai batik. Dia juga mengungkap ada batik dengan nilai falsafah tinggi dinyatakan sebagai batik larangan Keraton Yogyakarta. Batik apa saja?
“Beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk,” demikian kata GKR Bendara yang dilansir di website resmi Keraton Yogyakarta.
Batik yang termasuk larangan, lanjut Bendara, yakni motif parang saat ini banyak beredar di pasaran tanpa diperhatikan makna filosofinya. Bahkan, penempatannya cenderung asal.
“Dalam Rijksblad van Djokjakarta, tahun 1927, tentang Pranatan Keprabon Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta, larangan motif parang mulai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta 1921-1939. Pemaknaannya ada dua versi, Rouffaer dan Joynboll mengatakan motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang. Ksatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa berlipat kekuatannya. Versi lain mengatakan, motif parang ini diciptakan Panembahan Senapati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai,” urai dia.
Sehingga, pola garis lengkung motif parang diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Dalam hal itu yang dimaksud adalah kedudukan raja. Komposisi miring pada motif parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Batik larangan lain, kata Bendara, yaitu motif huk dan kawung. Ini terjadi saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
“Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak sentosa, tumbuhan melambangkan kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan hati. Motif ini dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya. Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota,” jelasnya.
Kemudian, motif kawung yang hanya diperbolehkan untuk sentana ndalem atau keluarga kerajaan. Bentuknya berupa pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat.Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.
“Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar. Bunga teratai sendiri digunakan sebagai lambang kesucian. Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia. Untuk itu pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya,” jelasnya.
Dalam acara pembukuan Seminar Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2021 yang disiarkan secara daring beberapa hari lalu, GKR Bendara mengingatkan agar tak ada lagi yang menempatkan batik secara sembarangan tanpa memahami filosofinya.
“Sebagai sebuah masterpiece art, maka selayaknya juga dijunjung, dihargai, juga diberlakukan seperti masterpiece art lainnya,” kata Bendara.
“Jadi jangan lagi ada (batik) motif kawung atau parang yang diletakkan di lantai, ataupun menjadi dekorasi dinding kamar mandi, atau tempat-tempat yang tidak layak lainnya,” lanjutnya.
Sumber: detik.com
Discussion about this post